PENYELESAIAN SENGKETA MAHAR DALAM BINGKAI NORMATIF
Oleh : Teddy Lahati
(Hakim Pengadilan Agama Limboto)
I.
Pendahuluan
Penulisan makalah sederhana ini
berawal dari pengalaman penulis dalam menangani perkara perlawanan eksekusi Mahar.
Misalnya : Penggugat dan Tergugat telah bercerai, sewaktu kawin Tergugat telah
memberikan mahar berupa tanah yang diatasnya telah dibangun rumah, setelah
bercerai mahar tersebut diambil dengan alasan masih milik ayah tergugat. Tanpa
sepengetahuan penggugat rumah itu sudah dijual oleh ayah tergugat kepada pihak
ketiga. Penggugat merasa haknya telah dirampas.
Adahal hal yang menarik untuk dikaji lebih dalam mengenai permasalahan
ini, sehingga penulis mencoba menelaah kasus mahar ini dengan merumuskan
permasalahannya menjadi :
1.
Apakah
Pengadilan Agama mempunyai kewenangan dalam mengadili sengketa Mahar
sebagaimana regulasi yang ada saat ini?
2.
Bagaimana
teknis Penyelesaian sengketa mahar di Pengadilan Agama?
II. Pembahasan
A. Rumusan pertama tentang kewenangan
Peradilan Agama dalam sengketa mahar
Menurut
Prof. Dr. Drs. Abdul Manan, S.H., S.IP., M.Hum. dalam pemaparannya pada
perkuliahan Pendidikan calon Hakim Terpadu Angkatan II, bahwa Kewenangan
Pengadilan Agama dari masa kemasa mengalami proses yang sangat panjang, dimulai
dari kewenangan Staatblaad 1882 No. 152 tentang :
a.
Hukum
Perkawinan
b.
Hukum
Kewarisan
c.
Hibah dan
Wasiat
d.
Infaq dan
Shadaqah
e.
Dan
lain-lain
Kemudian
berubah menjadi staatblaad 1937 No. 611 tentang :
a.
NTR saja
b.
Selainnya
dimasukkan landraad
Dan
terakhir kewenangan berdasarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan, kewenangan berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang
peradilan Agama sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009.
Melihat
Jaminan yang diberikan oleh pemerintah tentang kekuasaan absolut Pengadilan
Agama, memberikan peran penting Pengadilan Agama dalam menyelesaikan
persengketaan yang muncul. Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan
perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 yang pada intinya akan
menyelesaikan perkara pada bidang-bidang :
A. Perkawinan :
1.
Izin beristri
lebih dari seorang
2. Izin melangsungkan perkawinan bagi
seorang yang belum berusia 21 Tahun, dalam hal orang tua/wali/keluarga dalam
garis lurus ada perbedaan pendapat
3. Dispensasi kawin
4. Pencegahan perkawinan
5. Penolakan Perkawinan oleh PPN
6. Pembatalan Perkawinan
7. Gugatan kelalaian atas kewajiban
suami/istri
8. Perceraian karena talak
9. Gugatan perceraian
10. Penyelesaian harta bersama
11. Mengenai penguasaan anak
12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan
pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak
memenuhinya
13. Penentuan kewajiban memberi biaya
penghidupan oleh suami kepada bekas
istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri
14. Putusan tentang atau tidaknya seorang
anak
15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan
orang tua
16. Pencabutan kekuasaan wali
17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh
Pengadilan dalam hal kekuasaan seorang
wali dicabut
18. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang
anak yang belum cukup umur 18 tahun yang ditinggal kedua orang tuanya, padahal
tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya
19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap
Wali yg telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah
kekuasaannya
20. Penetapan asal-usul seorang anak
21. Putusan tentang hal penolakan pemberian
keterangan untuk melakukan perkawinan
campuran
22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yg
terjadi sebelum UU 1/1974 dan dijalankan
menurut peraturan yang lain
B. Waris
C. Wasiat
D. Hibah
E. Wakaf
F. Zakat
G. Infaq
H. Shodaqoh
I. Ekonomi Syari’ah
Penyelesaian
sengketa hak milik dalam hal ini mahar atau sengketa lain dalam perkara yang
menjadi kewenangan Peradilan Agama adalah :
-
Objek
sengketa (Mahar) yang terdapat sengketa hak milik atau sengketa lain antara
orang Islam dengan selain orang Islam maka menjadi kewenangan peradilan umum
untuk memutuskan perkara tersebut. Proses pemeriksaan perkara di peradilan
agama terhadap objek sengketa yang masih terdapat sengketa milik atau sengketa
lain antara orang Islam selain orang Islam ditunda terlebih dahulu sebelum
mendapatkan putusan dari peradilan umum. Sebagaimana yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Pasal
49 ayat (1):
Dalam hal terjadi sengketa
hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49,
khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum
Khusus mengenai objek
sengketa tersebut harus terlebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan
umum
-
Objek
sengketa (mahar) yang terdapat sengketa hak milik atau sengketa lain, antara
orang Islam maka peradilan Agama dapat memutus bersama-sama perkara yang
menjadi kewenangan Peradilan Agama, sebagaimana lanjutan pasal 49 ayat (2) :
Apabila terjadi sengketa hak
milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya antara
orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh
pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.
Pasal ini tentunya memberikan solusi
atas permasalahan yang selama ini muncul mengenai mahar yang menjadi sengketa
milik atau masalah keperdataan yang lain terkait dengan objek sengketa. Tidak
ada alasan lagi para pihak untuk mengulur-ulur waktu agar perkara ini lambat
diselesaikan sehingga salah satu pihak ada yang merasa dirugikan dan
diuntungkan, kecuali subjek hukum yang lain mengajukan ke peradilan umum, maka
subjek hukum yang sedang beracara diperadilan Agama bisa menunjukkan bukti
bahwa objek sengketa tersebut sementara di periksa juga di peradilan umum, maka
putusan peradilan Agama bisa ditangguhkan. Misalnya : Penggugat telah bercerai
dengan Tergugat. Kemudian Penggugat mengajukan gugatan mahar (berupa rumah)
kepada Tergugat karena Tergugat telah mengambil kembali mahar yang telah
diberikan sewaktu perkawinan. Pengadilan dapat menangguhkan putusannya apabila
ayah Tergugat mengajukan objek sengketa yang sama tersebut ke Pengadilan Umum.
Kemudian Tergugat menyerahkan bukti kepada Majelis hakim bahwa objek sengketa
tersebut sementara diperiksa
B. Rumusan Kedua tentang Teknis Penyelesaian Sengketa Mahar
Mahar
(arab : المهر = maskawin), adalah pemberian wajib berupa uang atau
barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan, ketika dilangsungkan
akad nikah.mahar merupakan salah satu unsur terpenting dalam proses pernikahan.
Demikian dikemukakan dalam Ensiklopedi Hukum Islam
Kamus Besar Bahasa
Indonesia mendefinisikan mahar itu dengan “pemberian wajib berupa uang
atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika
dilangsungkan akad nikah”. Definisi ini kelihatan nya sesuai dengan tradisi
yang berlaku di indonesia bahwa mahar itu diserahkan ketika berlangsungnya akad
nikah.
Mahar itu dalam bahasa arab disebut
dengan delapan nama, yaitu : mahar, shadaq, nihlah, faridhah, hiba’, ujr,
‘uqar, dan alaiq. Keseluruhan kat tersebut mengandung arti pemberian
wajibsebagai imbalan dari sesuatu yang diterima.
Para
ulama mazhab mengemukakan beberapa definisi, yaitu:
1. Mazhab Hanafi (sebagiannya)
mendefinisikan, bahwa:” mahar sebagai sejumlah harta yang menjadi hak istri,
karena akad perkawinan, atau disebabkan terjadi senggama dengan sesungguhnya”.
2. Mazhab Maliki mendefinisikannya: “sebagai
sesuatu yang menjadikan istri halal untuk digauli”.
3. Mazhab Hambali mengemukakan, bahwa mahar.
“sebagai imbalan suatu perkawinan, baik disebutkan secara jelas dalam akad
nikah, ditentukan setelah akad dengan persetujuan kedua belah pihak, maupun
ditentukan oleh hakim”.
Dasar wajibnya menyerahkan mahar itu
ditetapkan dalam Al-Qur’an. Sebagai landasan ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan
tentang mahar yaitu Surat An-Nisa ayat 4, 19, 21, dan surat Al-Baqarah ayat
237. Berikut surat An-Nisa ayat 4 yang bunyinya:
Berikanlah maskawin (mahar) kepada
wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian
jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang
hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi
baik akibatnya.
Menurut Pasal 1 huruf d Kompilasi Hukum Islam, definisi mahar
adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik
berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Gugatan mahar dapat
diajukan karena suami belum melunasi mahar terhutang yang dijanjikan pada saat
akad nikah (Pasal 33 ayat 2 KHI), bahkan gugatan mahar juga dapat dilakukan
apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan
(Pasal 37 KHI).
Dasar hukum gugatan
mahar diatur dalam Pasal 30, 33, dan 37 KHI. Dalam praktek biasanya gugatan
mahar dikumulasikan dengan gugatan cerai, sehingga ia menjadi assesoir dalam
perkara cerai gugat, atau diajukan dalam gugatan rekonvensi dalam perkara cerai
talak. Bahkan tidak tertutup kemungkinan gugatan mahar diajukan secara
tersendiri sebelum perceraian terjadi.
Apabila
gugatan mahar dikumulasikan dengan cerai gugat atau diajukan dalam gugatan
rekonvensi dalam perkara cerai talak, hampir tidak bermasalah karena sudah
biasa dipraktekan di Pengadilan Agama, namun apabila dipisahkan secara
tersendiri sebelum perceraian terjadi, akan menimbulkan polemik karena tidak
ada dasar hukum yang kuat untuk menyatakan itu, dan karena mahar yang belum
ditunaikan penyerahannya menjadi hutang suami (Pasal 33 ayat 2), sedangkan masalah
hutang piutang bukan kewenangan Peradilan Agama melainkan Peradilan Umum
melalui gugatan wanprestasi, apabila diajukan ke Peradilan Umum adalah hal yang
ironis karena gugatan mahar timbul dari hukum Islam (KHI) dan pernikahannya pun
dilaksanakan secara Islam pula.
Teknis penyelesaiannya sengketa mahar di
Pengadilan Agama :
-
Penggugat
mengajukan permohonan di Pengadilan Agama dengan gugat mahar dengan
mencantumkan jenis objek yang dimaksud secara jelas, misalnya Tanah, rumah,
mobil dan lain sebagainya
-
Penggugat
dapat mengajukan sita jaminan terhadap mahar yang disengketakan dengan
menjelaskannya pada posita dan petitum
-
Majelis
memeriksa objek sengketa dalam hal ini mahar tentang status kepemilikannya,
kejelasan objek sengketa dengan melakukan pemeriksaan setempat
-
Kutipan
akta nikah menjadi salah satu alat bukti yang penting dalam proses persidangan,
karena selalu dimuat materiil tentang jenis mahar yang diberikan suami kepada
isteri
-
Apabila
ada pihak ketiga yang ingin masuk (tussenkomst) untuk membela kepentingannya
atas mahar yang dipersengketakan tersebut maka harus mengajukan gugatan kepada
Ketua Pengadilan dengan melawan pihak yang bersengketa
-
Sebelum
hakim memperkenankan pihak ketiga (intervenient) untuk ikut berproses,
terlebih dahulu harus didengar semua pihak tentang maksud tersebut, kemudian
hakim mempertimbangkan kepentingan masing-masing, sebelum menolak atau
mengabulkan pencampuran pihak ketiga tersebut, selanjutnya hakim membuat
putusan sela yang memuat pertimbangannya secara lengkap
III. Penutup
Dalam menyelesaikan persoalan
sengketa mahar ini, pengadilan membutuhkan kejujuran dari para pihak yang
berperkara. Mahar yang telah diucapkan dalam proses pernikahan, tentunya
didengar oleh orang-orang yang hadir dalam cara tersebut, dan telah dicatat dalam
buku kutipan akta nikah.
mahar menjadi sengketa, apabila
penggugat menyatakan bahwa dia berhak atas mahar rumah/tanah tersebut kemudian
tergugat membantah dalil mahar penggugat dengan alasan rumah/tanah adalah milik
ayah tergugat, terlebih lagi sudah ada pihak ketiga yang menguasai mahar
rumah/tanah tanpa sepengetahuan penggugat.
Majelis hakim
harus hati-hati dalam menyelesaikan persoalan ini, agar tidak terjebak dalam
permainan tergugat untuk mengulur atau memperlambat waktu penyelesaian sengketa
mahar. Kekeliruan hendaknya dapat dihindari dalam menyelesaikan setiap perkara
terlebih dalam penyelesaian sengketa mahar ini, ada ungkapan Errare Humanum
Est, Turpe In Errope Perseverare (membuat kekeliruan ialah sifat manusia,
akan tetapi tidaklah baik untuk terus mempertahankan kekeliruan).
Daftar Pustaka
Abdul
Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet.
Ke-6, Kencana: Jakarta, 2012.
Ahmad
Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Format
Formulir berperkara, Ghalia Indonesia: Bogor, 2012.
Achmad Ali, Menguak
tabir hukum, Cet. Ke-3, Ghalia Indonesia, 2011
Achmad Ali, dkk, Asas-Asas Hukum
Pembuktian Perdata, Cet-1, Kencana; Jakarta 2012
Abdul Manaf, Refleksi Beberapa
Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama, Cet. Ke-1, CV. Mandar
Maju; Bandung, 2008
Departemen Agama R.I., Himpunan
Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta,
2003
Mukti Arto, Praktek Perkara
Perdata Pada Pengadilan Agama, Cet-9, Pustaka Pelajar; Yogyakarta, 2011
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara
Perdata di Indonesia, Cet. Ke-2, Liberty : Yogyakarta
Undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan
Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, tentang Perubahan kedua atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
How to make money in gambling - How to Make Money
BalasHapusIf you want to make money gambling gambling games you will most definitely want to. For starters, the game of money can งานออนไลน์ be fun to play or