Minggu, 08 Maret 2015

SENGKETA MAHAR

PENYELESAIAN SENGKETA MAHAR DALAM BINGKAI NORMATIF
Oleh : Teddy Lahati
(Hakim Pengadilan Agama Limboto)
 I.       Pendahuluan
            Penulisan makalah sederhana ini berawal dari pengalaman penulis dalam menangani perkara perlawanan eksekusi Mahar. Misalnya : Penggugat dan Tergugat telah bercerai, sewaktu kawin Tergugat telah memberikan mahar berupa tanah yang diatasnya telah dibangun rumah, setelah bercerai mahar tersebut diambil dengan alasan masih milik ayah tergugat. Tanpa sepengetahuan penggugat rumah itu sudah dijual oleh ayah tergugat kepada pihak ketiga. Penggugat merasa haknya telah dirampas.  Adahal hal yang menarik untuk dikaji lebih dalam mengenai permasalahan ini, sehingga penulis mencoba menelaah kasus mahar ini dengan merumuskan permasalahannya menjadi :
1.    Apakah Pengadilan Agama mempunyai kewenangan dalam mengadili sengketa Mahar sebagaimana regulasi yang ada saat ini?
2.    Bagaimana teknis Penyelesaian sengketa mahar di Pengadilan Agama?
   II.   Pembahasan
A.   Rumusan pertama tentang kewenangan Peradilan Agama dalam sengketa mahar
            Menurut Prof. Dr. Drs. Abdul Manan, S.H., S.IP., M.Hum. dalam pemaparannya pada perkuliahan Pendidikan calon Hakim Terpadu Angkatan II, bahwa Kewenangan Pengadilan Agama dari masa kemasa mengalami proses yang sangat panjang, dimulai dari kewenangan Staatblaad 1882 No. 152 tentang :
a.    Hukum Perkawinan
b.    Hukum Kewarisan
c.    Hibah dan Wasiat
d.    Infaq dan Shadaqah
e.    Dan lain-lain
            Kemudian berubah menjadi staatblaad 1937 No. 611 tentang :
a.    NTR saja
b.    Selainnya dimasukkan landraad
            Dan terakhir kewenangan berdasarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, kewenangan berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009.
            Melihat Jaminan yang diberikan oleh pemerintah tentang kekuasaan absolut Pengadilan Agama, memberikan peran penting Pengadilan Agama dalam menyelesaikan persengketaan yang muncul. Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 yang pada intinya akan menyelesaikan perkara pada bidang-bidang :
A.  Perkawinan :
1.    Izin beristri lebih dari seorang
2.    Izin melangsungkan perkawinan bagi seorang yang belum berusia 21         Tahun, dalam hal orang tua/wali/keluarga dalam garis lurus ada  perbedaan pendapat
3.    Dispensasi kawin
4.    Pencegahan perkawinan
5.    Penolakan Perkawinan oleh PPN
6.    Pembatalan Perkawinan
7.    Gugatan kelalaian atas kewajiban suami/istri
8.    Perceraian karena talak
9.    Gugatan perceraian
10. Penyelesaian harta bersama
11. Mengenai penguasaan anak
12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya
13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada  bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri
14. Putusan tentang atau tidaknya seorang anak
15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua
16. Pencabutan kekuasaan wali
17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan dalam hal kekuasaan  seorang wali dicabut
18. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 tahun yang ditinggal kedua orang tuanya, padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya
19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap Wali yg telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya
20. Penetapan asal-usul seorang anak
21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan  perkawinan campuran
22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yg terjadi sebelum UU 1/1974 dan  dijalankan menurut peraturan yang lain
B. Waris
C. Wasiat
D. Hibah
E.  Wakaf
F.  Zakat
G. Infaq
H. Shodaqoh
I.    Ekonomi Syari’ah
            Penyelesaian sengketa hak milik dalam hal ini mahar atau sengketa lain dalam perkara yang menjadi kewenangan Peradilan Agama adalah :
-       Objek sengketa (Mahar) yang terdapat sengketa hak milik atau sengketa lain antara orang Islam dengan selain orang Islam maka menjadi kewenangan peradilan umum untuk memutuskan perkara tersebut. Proses pemeriksaan perkara di peradilan agama terhadap objek sengketa yang masih terdapat sengketa milik atau sengketa lain antara orang Islam selain orang Islam ditunda terlebih dahulu sebelum mendapatkan putusan dari peradilan umum. Sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Pasal 49 ayat (1):
Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum
Khusus mengenai objek sengketa tersebut harus terlebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum

-       Objek sengketa (mahar) yang terdapat sengketa hak milik atau sengketa lain, antara orang Islam maka peradilan Agama dapat memutus bersama-sama perkara yang menjadi kewenangan Peradilan Agama, sebagaimana lanjutan pasal 49 ayat (2) :
Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.

            Pasal ini tentunya memberikan solusi atas permasalahan yang selama ini muncul mengenai mahar yang menjadi sengketa milik atau masalah keperdataan yang lain terkait dengan objek sengketa. Tidak ada alasan lagi para pihak untuk mengulur-ulur waktu agar perkara ini lambat diselesaikan sehingga salah satu pihak ada yang merasa dirugikan dan diuntungkan, kecuali subjek hukum yang lain mengajukan ke peradilan umum, maka subjek hukum yang sedang beracara diperadilan Agama bisa menunjukkan bukti bahwa objek sengketa tersebut sementara di periksa juga di peradilan umum, maka putusan peradilan Agama bisa ditangguhkan. Misalnya : Penggugat telah bercerai dengan Tergugat. Kemudian Penggugat mengajukan gugatan mahar (berupa rumah) kepada Tergugat karena Tergugat telah mengambil kembali mahar yang telah diberikan sewaktu perkawinan. Pengadilan dapat menangguhkan putusannya apabila ayah Tergugat mengajukan objek sengketa yang sama tersebut ke Pengadilan Umum. Kemudian Tergugat menyerahkan bukti kepada Majelis hakim bahwa objek sengketa tersebut sementara diperiksa
B.   Rumusan Kedua tentang Teknis Penyelesaian Sengketa Mahar
            Mahar (arab :   المهر = maskawin), adalah pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan, ketika dilangsungkan akad nikah.mahar merupakan salah satu unsur terpenting dalam proses pernikahan. Demikian dikemukakan dalam Ensiklopedi Hukum Islam
            Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan mahar itu dengan “pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah”. Definisi ini kelihatan nya sesuai dengan tradisi yang berlaku di indonesia bahwa mahar itu diserahkan ketika berlangsungnya akad nikah.
            Mahar itu dalam bahasa arab disebut dengan delapan nama, yaitu : mahar, shadaq, nihlah, faridhah, hiba’, ujr, ‘uqar, dan alaiq. Keseluruhan kat tersebut mengandung arti pemberian wajibsebagai imbalan dari sesuatu yang diterima.
Para ulama mazhab mengemukakan beberapa definisi, yaitu:
1.    Mazhab Hanafi (sebagiannya) mendefinisikan, bahwa:” mahar sebagai sejumlah harta yang menjadi hak istri, karena akad perkawinan, atau disebabkan terjadi senggama dengan sesungguhnya”.
2.    Mazhab Maliki mendefinisikannya: “sebagai sesuatu yang menjadikan istri halal untuk digauli”.
3.    Mazhab Hambali mengemukakan, bahwa mahar. “sebagai imbalan suatu perkawinan, baik disebutkan secara jelas dalam akad nikah, ditentukan setelah akad dengan persetujuan kedua belah pihak, maupun ditentukan oleh hakim”.  
            Dasar wajibnya menyerahkan mahar itu ditetapkan dalam Al-Qur’an. Sebagai landasan ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan tentang mahar yaitu Surat An-Nisa ayat 4, 19, 21, dan surat Al-Baqarah ayat 237. Berikut surat An-Nisa ayat 4 yang bunyinya:
            Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
           Menurut Pasal 1 huruf d Kompilasi Hukum Islam, definisi mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Gugatan mahar dapat diajukan karena suami belum melunasi mahar terhutang yang dijanjikan pada saat akad nikah (Pasal 33 ayat 2 KHI), bahkan gugatan mahar juga dapat dilakukan apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan (Pasal 37 KHI).
Dasar hukum gugatan mahar diatur dalam Pasal 30, 33, dan 37 KHI. Dalam praktek biasanya gugatan mahar dikumulasikan dengan gugatan cerai, sehingga ia menjadi assesoir dalam perkara cerai gugat, atau diajukan dalam gugatan rekonvensi dalam perkara cerai talak. Bahkan tidak tertutup kemungkinan gugatan mahar diajukan secara tersendiri sebelum perceraian terjadi.
            Apabila gugatan mahar dikumulasikan dengan cerai gugat atau diajukan dalam gugatan rekonvensi dalam perkara cerai talak, hampir tidak bermasalah karena sudah biasa dipraktekan di Pengadilan Agama, namun apabila dipisahkan secara tersendiri sebelum perceraian terjadi, akan menimbulkan polemik karena tidak ada dasar hukum yang kuat untuk menyatakan itu, dan karena mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi hutang suami (Pasal 33 ayat 2), sedangkan masalah hutang piutang bukan kewenangan Peradilan Agama melainkan Peradilan Umum melalui gugatan wanprestasi, apabila diajukan ke Peradilan Umum adalah hal yang ironis karena gugatan mahar timbul dari hukum Islam (KHI) dan pernikahannya pun dilaksanakan secara Islam pula.
            Teknis penyelesaiannya sengketa mahar di Pengadilan Agama :
-       Penggugat mengajukan permohonan di Pengadilan Agama dengan gugat mahar dengan mencantumkan jenis objek yang dimaksud secara jelas, misalnya Tanah, rumah, mobil dan lain sebagainya
-       Penggugat dapat mengajukan sita jaminan terhadap mahar yang disengketakan dengan menjelaskannya pada posita dan petitum
-       Majelis memeriksa objek sengketa dalam hal ini mahar tentang status kepemilikannya, kejelasan objek sengketa dengan melakukan pemeriksaan setempat
-       Kutipan akta nikah menjadi salah satu alat bukti yang penting dalam proses persidangan, karena selalu dimuat materiil tentang jenis mahar yang diberikan suami kepada isteri
-       Apabila ada pihak ketiga yang ingin masuk (tussenkomst) untuk membela kepentingannya atas mahar yang dipersengketakan tersebut maka harus mengajukan gugatan kepada Ketua Pengadilan dengan melawan pihak yang bersengketa
-       Sebelum hakim memperkenankan pihak ketiga (intervenient) untuk ikut berproses, terlebih dahulu harus didengar semua pihak tentang maksud tersebut, kemudian hakim mempertimbangkan kepentingan masing-masing, sebelum menolak atau mengabulkan pencampuran pihak ketiga tersebut, selanjutnya hakim membuat putusan sela yang memuat pertimbangannya secara lengkap
 III.       Penutup
            Dalam menyelesaikan persoalan sengketa mahar ini, pengadilan membutuhkan kejujuran dari para pihak yang berperkara. Mahar yang telah diucapkan dalam proses pernikahan, tentunya didengar oleh orang-orang yang hadir dalam cara tersebut, dan telah dicatat dalam buku kutipan akta nikah.
            mahar menjadi sengketa, apabila penggugat menyatakan bahwa dia berhak atas mahar rumah/tanah tersebut kemudian tergugat membantah dalil mahar penggugat dengan alasan rumah/tanah adalah milik ayah tergugat, terlebih lagi sudah ada pihak ketiga yang menguasai mahar rumah/tanah tanpa sepengetahuan penggugat.
            Majelis hakim harus hati-hati dalam menyelesaikan persoalan ini, agar tidak terjebak dalam permainan tergugat untuk mengulur atau memperlambat waktu penyelesaian sengketa mahar. Kekeliruan hendaknya dapat dihindari dalam menyelesaikan setiap perkara terlebih dalam penyelesaian sengketa mahar ini, ada ungkapan Errare Humanum Est, Turpe In Errope Perseverare (membuat kekeliruan ialah sifat manusia, akan tetapi tidaklah baik untuk terus mempertahankan kekeliruan).
Daftar Pustaka

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet. Ke-6, Kencana: Jakarta, 2012.
Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Format Formulir berperkara, Ghalia Indonesia: Bogor, 2012.
Achmad Ali, Menguak tabir hukum, Cet. Ke-3, Ghalia Indonesia, 2011
Achmad Ali, dkk, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, Cet-1, Kencana; Jakarta 2012
Abdul Manaf, Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama, Cet. Ke-1, CV. Mandar Maju; Bandung, 2008
Departemen Agama R.I., Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta, 2003
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Cet-9, Pustaka Pelajar; Yogyakarta, 2011
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Cet. Ke-2, Liberty : Yogyakarta
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009, tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009, tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama


1 komentar:

  1. How to make money in gambling - How to Make Money
    If you want to make money gambling gambling games you will most definitely want to. For starters, the game of money can งานออนไลน์ be fun to play or

    BalasHapus